Tugas 1 - Pajak Bumi & Bangunan



TUGAS 1

Apakah dalam lahan yang tidak resmi menurut pemerintah memang bisa menjadi objek pajak?


Untuk menjawab pertanyaan yg terkait dengan kondisi sosial tersebut, beberapa hal perlu dicermati :

1. Salah satu fungsi pajak yang utama adalah sebagai fungsi budgeter yang artinya untuk mengumpulkan dana sebanyak-banyaknya.  Pada kenyataannya meskipun secara peraturan perundang-undangan negara memang berhak untuk mengintensifkan dan mengextensifkan (menggenjot) penerimaan pajak, akan tetapi selama bertahun-tahun penerimaan pajak selalu tidak mencapai target. Sehingga pada gilirannya pembangunan negara yg tujuannya secara ideal untuk kemakmuran rakyat seluas-luasnya menjadi tersendat-sendat dan terpaksa pemerintah menutupinya dengan memperbesar hutang.  Sehingga jika menggunakan hubungan sebab akibat dan efek domino yang cukup jauh, maka seharusnya setiap masyarakat menyadari bahwa jika penerimaan PBB tidak maskimal maka yang akan menjadi korban adalah kesejahteraan masyarakat seluas-luasnya itu sendiri dan bahkan dampaknya bisa dirasakan sampai generasi-generasi berikutnya dalam bentuk pembayaran hutang yg semakin besar.  Tapi tentunya hubungan ini bagi masyarakat kebanyakan memang terasa jauh dari logika mereka, sehingga yang terasa pada saat terjadi resistensi sosial adalah hanya kepedihan.  Oleh karena itu diperlukan sosialisasi yang lebih agresif  namun cermat.

2. Jika kita sudah memahani hal  terebut di atas, maka kita akan memaklumi undang-undang Pajak Bumi dan Bagunan UU  Nomor 12 tahun 1985, yang telah diubah dengan UU Nomor  12 tahun 1994 berikut ini  yang mengatur tentang Subjek dan Objek PBB : Pasal 4 ayat (1):   Yang menjadi subyek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.
Kalau kita pahami lebih cermat, nyatalah bahwa subyek pajak-nya tidak harus yang memiliki, tetapi juga bisa yang menguasai atau yang memanfaatkan dari obyek pajak tersebut, sehingga nama yang tercantum pada surat pemberitahuan pajak terhutang (SPPT) bisa pemilik, penyewa atau yang memanfaatkan.
Sedangkan dari sisi Objek PBB disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1): Yang menjadi obyek pajak adalah bumi dan/atau bangunan.
Dengan melihat bunyi undang-undang tersebut, jelaslah bahwa yang menjadi obyek pajak adalah seluruh permukaan bumi (termasuk perairan dan tubuh bumi yang ada dibawahnya) dan bangunan. Definisi bumi dan bangunan dapat dilihat pada pasal 1 Undang-undang PBB.  Kembali ke pertanyaan apakah lahan tidak resmi dapat menjadi objek pajak? Disini perlu dianalisa, bahwa yg disebut "tidak resmi" adalah status hukum kepemilikan tanah tsb. Akan tetapi kalau kita runut kebelakang lahan-lahan ini (yg umumnya berada di kota besar dan di posisi strategis) sudah punya Cohirnya, bahkan pada kasus tertentu sejak jaman belanda.  Cohir ini dalam perkembangannya menjadi dasar diterbitkannya SPPT.

3. Azas keadilan.  Namun demikian Perundang-undangan tersebut tetap mengedepankan azas keadilan, yaitu ada pengecualian dan kemudahan.  Sakah satunya adalah jika kita mengacu pada pasal 3 tentang objek yang tidak dikenakan PBB :
a.   digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial,   kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
b.   digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu;
c.    merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
d.   digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
e.    digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional oleh yang ditentukan oleh Menteri Keuangan
Sedangkan fasilitas kemudahan pembayaran PBB dapat ditemui di pertauran perundang-undangan yang umumnya bersifat kedaerahan, karena patut diingat meskipun PBB ini adalah pajak yang bersifat pusat akan tetapi digunakan untuk keperluan pembangunan daerah.  Contohnya adalah pergub DKI No 134 tahun 2015.

Kesimpulan :
1. jika seseorang (subjek) memperoleh manfaat dari suatu bidang tanah (objek) maka obyek tersebut akan dikenakan pajak dan Wajib Pajak adalah orang atau pihak yang memanfaatkan obyek tersebut (biasanya tercantum dlm SPPT), dengan kata lain karena memanfaatkan/menikmati obyek tersebut maka mereka harus melaksanakan kewajibannya yaitu membayar PBB demi kepentingan bersama.
2. Dengan semakin maraknya penggusuran, maka pengetahuan masyarakatpun semakin meningkat bahwa kewajiban pembayaran PBB tidak terkait dengan isu hukum kepemilikan tanah/lahan.  Namun demikian masih banyak serangan-serangan bersifat politis menggunakan isue ini yang pada dasarnya tidak menyadari kekuatan petugas pajak untuk mengumpulkan PBB adalah kokoh karena didasarkan dengan undang-undang yang sah.  Oleh karena pihak pemeritah tetap perlu menggencarkan sosialisasi tentang PBB yang lebih cerdas dan cermat.
3. Disarankan untuk memanfaatkan kemudahan yang ditawarkan yang pada umumya berbasis peraturan daerah, Sehingga tiap-tiap daerah bisa berbeda-beda.

Comments

Popular Posts